Budaya Banjar di Pesisir Sungai

Sebagian besar wilayah penduduk Propinsi Kalimantan Selatan dihuni oleh suku Banjar. Mereka itu diduga memiliki kesamaan dengan penduduk pulau Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu.

Suku Banjar berasal dari orang Melayu Sumatera, Kalimantan dan Jawa yang datang ke Kalimantan Selatan untuk berdagang. Adat, bahasa dan kepercayaan mereka adalah akibat pengaruh berabad-abad dari orang Dayak, Melayu dan Jawa. Ada juga orang Dayak yang menjadi orang Banjar karena memeluk agama Islam. Orang Banjar dapat dibagi dua dari segi dialek bahasa, yaitu Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Suku Banjar terdapat di propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Sumatera dan Malaysia (Perak, Selangor dan Johor). Mereka juga terkenal dengan julukan masyarakat air (‘the weter people’) karena adanya pasar terapung, tempat perdagangan hasil bumi dan kebutuhan hidup sehari-hari di sungai-sungai kota Banjarmasin, ibukota Propinsi Kalimantan Selatan.

 

Di wilayah ini terbentuk budaya sungai yang mana masyarakatnya membangun pemukiman sepanjang tepian sungai Barito ataupun anak sungai Barito seperti sungai Nagara dan sungai Martapura. Di sepanjang Sungai Nagara dengan anak sungainya, antara lain Sungai Tabalong Kiri, Sungai Tabalong Kanan, Sungai Balago, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, dan Sungai Tapin. Anak cabang Sungai Barito bermuara ke Laut Jawa, sedangkan sungai lainnya seperti Sungai Batu Licin, Sungai Tabanio, Sungai Asam-asam, Sungai Kintap, dan Sungai Bangkalaan adalah sungai-sungai yang bermuara ke Laut Jawa dan Selat Makassar. Di daerah dataran rendah ini suku Banjar tinggal selalu berdekatan dengan air atau bahkan di atas air, dengan membangun rumah-rumah adat panggung, rumah lanting ataupun bahkan tinggal di atas perahu. Bentuk lansekap sungai monoton yang mana banyak terdapat rawa-rawa dan areal berlumpur, banyak buaya serta tertutup oleh rimba belantara yang sulit ditembus.

Dalam hal permukiman, bentuk perkampungan di lingkungan sungai selalu berpola linear mengikuti alur sungai tersebut dan rumah-rumah selalu menghadap ke sungai. Berbagai permukiman penduduk di sepanjang Sungai Tabalong dan Sungai Martapura itu kemudian juga berfungsi sebagai pelabuhan sungai yang kemudian juga menjadi pusat-pusat kerajaan seperti Tanjung Puri, Negara Dipa,  Negara Daha, dan Bandarmasih (Banjarmasin). Sebagaimana dikatakan  Sartono Kartodirjo et al (1975) pusat kota pemerintahan kerajaan, bandar dan pasar adalah tiga fungsi daerah tempat pembentukan kerajaan di tepian sungai dan pesisir pantai.

Bentuk rumah pada umumnya rumah panggung dengan tiang, lantai, dinding dan atap terbuat dari kayu ulin. Rumah-rumah itu terdiri dari berbagai tipe atau bentuk yang dibedakan berdasarkan bentuk atapnya seperti bubungan tinggi, balai laki, palimbangan, dan sebagainya.  Pada permukiman di tepian sungai, antara rumah satu dengan yang lain dihubungkan dengan titian, dan setiap rumah (keluarga batih) memiliki batang, yaitu sejenis rakit yang ditempatkan di sungai depan rumah yang berfungsi sebagai tempat mandi, cuci, dan jamban (MCK), serta sekaligus tempat menambatkan jukung. Setiap kampung  biasanya memiliki surau atau langgar, pada kampung yang lebih besar terdapat masjid jami untuk sholat Jumat. Selain itu, setiap perkampungan juga mempunai pasar yang terletak pada persimpangan atau bertemunya dua sungai (Sunarningsih dalam Gunadi et al., 2004).

Tinggi rata-rata permukaan tanah di Kota Banjarmasin sekitar 60cm dibawah permukaan air laut. Hal ini menyebabkan sebagian besar wilayah daratan kota Banjarmasin didominasi oleh lahan basah atau rawa-rawa dengan intensitas kedalaman yang berbeda-beda dan arus dan arah aliran sungai tergantung oleh pasang surut air laut. Normalnya, aliran air sungai mengalir dari hulu menuju ke hilir, tapi di Banjarmasin bisa sebaliknya bila air laut pasang. Hal ini menyebabkan terjadinya intrusi air laut, sehingga air sungai dan rawa bisa berubah-ubah taste-nya tergantung waktunya.

Hampir semua sarana dan prasaran publik maupun pribadi dibangun di sekitar sungai dengan menghadap ke sungai, mulai rumah tinggal pribadi, sekolah, perkantoran pemerintah, militer, sarana ibadah, pasar, bahkan pelabuhan Tri Sakti yang merupakan pintu masuk orang dan barang ke Pulau Kalimantan juga dibangun di tepi sungai bukan di tepi laut layaknya pelabuhan besar lainnya di Indonesia.

Salah satu bentuk budaya sungai adalah pasar terapung (floating market) yang masih eksis hingga sekarang ini di kampung Kuin, Banjarmasin dan terutama sekali di Lok Baintan, kabupaten Banjar. Keberadaan pasar terapung tidak terlepas dari kebudayaan sungai suku Banjar. Karena sungai bagi masyarakat Banjar, khususnya yang tinggal di tepian sepanjang sungai, tidak hanya sebagai tempat arus transportasi atau mobilisasi manusia, namun tempat pemasaran komoditas perdagangan dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga, seperti air minum, mandi, dan lain-lain.

Keberadaan pasar terapung di Kuin dapat ditelusuri sejak munculnya keraton kesultanan Banjar yang berada di pinggiran sungai Kuin. Keraton dahulu selalu tidak berjauhan dengan bandar, alun-alun, dan masjid. Bandar pada masa Kesultanan Banjar dahulu adalah di muara sungai Kuin. Di sinilah terjadi interaksi antara pedagang dan pembeli dalam bentuk  jual-beli di atas perahu, atau antara penduduk yang tinggal di pinggiran sungai dengan pedagang berperahu. Dapat dikatakan, bahwa keberadaan pasar terapung hanya dapat  ditelaah dari aspek kebudayaan sungai, yang menghasilkan perilaku manusia dalam mengatasi kebutuhan ekonomi, dan disandarkan pada dominasi transportasi perahu di sungai, sehingga membentuk pusat interaksi pembeli dan penjual, yang dikenal sebagai pasar terapung.

Menurut M. Idwar Saleh (1986) terbentuknya konsentrasi penduduk dengan pola permukiman berbanjar di sepanjang pinggiran sungai, faktor utamanya adalah sungai. Sungai bagi penduduk yang bermukim di tepian sungai mampu memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidup mereka, baik dari aspek transportasi dan mobilitas, ekonomi, sosial, budaya, dan politik.  Dari konsentrasi penduduk dan interaksinya dengan sungai, maka lahirlah kebudayaan sungai. Kehidupan masyarakat Banjar  berkembang di atas sungai yang menjadikan ciri khas dan budaya orang Banjar.

Terkait dengan transportasi sungai, sejak dahulu kala orang Banjar memiliki dan menguasai teknologi pembuatan perahu dalam berbagai bentuk dan jenis keperluan baik untuk sungai, pantai dan lautan. Kemampuan itu dengan sendirinya menjadikan orang Banjar memiliki tradisi berlayar baik sebagai pelaut, nelayan, dan pedagang antar pulau (interensuler).

Kemampuan memiliki, menguasai teknologi pembuatan perahu dan adanya tradisi berlayar dan berdagang antar pulau dengan perahu tradisional itulah yang menjadikan orang Banjar memiliki mobilitas tinggi,  berlayar dari satu pulau ke pulau lain, berangkat menuju tanah suci,  menyusuri sungai hingga jauh ke pedalaman, atau bermigrasi  untuk mencari tempat permukiman baru.

Penguasaan teknologi pembuatan perahu tercermin antara lain tercermin dari beragamnya  alat transportasi  sungai yakni jukung atau perahu/sampan dalam berbagai jenis maupun fungsinya.  Jukung Banjar dalam bentuk dan proses cara pembikinannya dikenal adanya tiga jenis, yaitu Jukung Sudur, Jukung Patai dan Jukung Batambit.

Deskripsi Sungai-sungai di Banjarmasin

1.Sungai Kuin

  1. Sungai Kuin di Kampung Arab

Sungai Kuin adalah sungai kecil yang terdapat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sungai Kuin merupakan sungai permanen, yaitu sungai yang jumlah airnya relatif tetap sepanjang tahun. Sungai Kuin merupakan jalur sungai kecil yang menghubungkan sungai Barito (jalur angkutan laut) dengan sungai Martapura (jalur sungai besar) yang membelah kota Banjarmasin. Ada beberapa bangunan yang berdiri di sekitar sungai Kuin yaitu rumah panggung, rumah yang terbuat dari beton, mesjid, jembatan, jalan raya, jamban, peternakan kambing, dan juga siring kecil. Anak sungai Kuin diantaranya adalah sungai Jagabaya dan sungai Pangeran yang hanya dapat dilewati oleh perahu-perahu kecil.

Aktivitas sungai Kuin di Kampung Arab tidak pernah sepi dari aktivitas kehidupan masyarakatnya. Sungai digunakan masyarakat kampung Arab untuk keperluan sehari-hari seperti MCK, mencuci pakaian, memasak, bersantai, juga untuk aktivitas perdagangan. Aktivitas perdagangan disini terjadi antara pedagang kambing dan juga pedagang kayu yang berjualan di sungai Kuin ini. Pedagang kambing di sungai Kuin tidak hanya untuk menjual kambing-kambingnya, tetapi mereka juga membuat peternakan kambing di sepanjang sungai Kuin di Kampung Arab.

Peternakan kambing ini menjadi menarik karena aktivitas transaksi jual beli yang berlangsung di Kampung Arab selain ramai pembeli, juga didukung dengan tempatnya yang strategis yaitu tepat berada di dekat pasar lama, dan di belakang peternakan tersebut juga terdapat sungai yang menghubungkan pasar lama dengan sungai Kuin sehingga lalu lintas di sekitar sungai juga ramai. Selain itu, lalu lintas jalan raya yang ada di Kampung Arab sangat ramai karena berdekatan dengan pasar yaitu Pasar Lama, sehingga sangat menguntungkan para pedagang kambing yang ada di Kampung Arab. Intinya, peternakan kambing di kampung ini sangat menguntungkan karena memiliki dua jalur yang sama-sama strategis baik itu jalur sungai maupun jalur darat.

Aktivitas penjualan kayu yang berada di tepi sungai Kuin di Kampung Arab juga sangat menarik karena aktivitas ini (berjualan kayu balok) sangat sedikit ditemukan di sungai-sungai Banjarmasin. Alasan pedagang-pedagang tersebut menjual kayu ditepi Sungai Kuin di Kampung Arab karena berjualan di tepi sungai itu tidak dikenakan biaya sewa tempat seperti halnya pedagang yang berjualan di pasar yang dikenakan biaya sewa toko. Selain itu, sungai Kuin yang dijadikan tempat untuk berjualan kayu letaknya juga strategis yaitu dekat dengan Pasar Lama sehingga menguntungkan para penjual kayu tersebut. Kayu-kayu yang dijual berasal dari daerah-daerah di sekitar Banjarmasin dengan waktu pemasaran berkisar mulai dari jam 8 pagi hingga jam 2 siang.

  1. Sungai Kuin di Jalan Kuin

Sungai Kuin adalah sungai kecil yang terdapat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sungai Kuin merupakan sungai permanen yaitu sungai yang jumlah airnya relatif tetap sepanjang tahun. Sebagai prasarana transportasi, sungai dibedakan menjadi jalur sungai kecil dan jalur sungai besar. Sungai Kuin merupakan jalur sungai kecil yang menghubungkan sungai Barito (jalur angkutan laut) dengan sungai Martapura (jalur sungai besar) yang membelah kota Banjarmasin. Sungai Kuin dilewati oleh angkutan sungai yang berangkat dari Banjarmasin menuju kota-kota pedalaman di Kalteng maupun Kalsel. Sungai Kuin, anak sungai Barito dahulu merupakan jalur pengangkutan getah karet. Jika sungai Barito berfungsi sebagai jaringan utama pembuangan air kotor, anak-anak sungainya sebagai jaringan sekunder dan tertier, misalnya sungai Kuin. Anak sungai Kuin diantaranya sungai Jagabaya dan sungai Pangeran yang hanya dapat dilewati perahu-perahu kecil. Aktivitas masyarakat sekitar berhubungan dengan perairan dan kehidupan sungai sehingga banyak rumah dibangun di sepanjang sungai Kuin. Masjid Sultan Suriansyah maupun Komplek Makam Sultan Suriansyah terletak di tepi sungai Kuin, masing-masing dilengkapi dengan dermaga kecil tempat menambatkan perahu (kelotok).

Daerah Kuin merupakan tipe permukiman yang berada di sepanjang aliran sungai (waterfront village) yang memiliki beberapa daya tarik pariwisata, baik berupa wisata alam, maupun wisata budaya. Kehidupan masyarakatnya erat dengan kehidupan sungai seperti pasar terapung, perkampungan tepian sungai dengan arsitektur tradisionalnya. Hilir mudiknya aneka perahu tradisional dengan beraneka muatan merupakan atraksi yang menarik bagi wisatawan, bahkan diharapkan dapat dikembangkan menjadi desa wisata sehingga dapat menjadi pembentuk citra dalam promosi kepariwisataan Kalimantan Selatan. Masih di kawasan yang sama wisatawan dapat pula mengunjungi Masjid Sultan Suriansyah dan Komplek Makam Sultan Suriansyah, pulau Kembang, pulau Kaget dan pulau Bakut. Di Kuin juga terdapat kerajinan ukiran untuk ornamen rumah Banjar.

Dari ulasan di atas, sungai kuin dijadikan tempat tinggal masyarakat, itu bisa terlihat di sepanjang sungai kuin banyaknya rumah di bangun, oleh sebab itulah aktivitas masyarakat tidak terlepas dari sungai kuin, aktivitas itu mengenai dalam memenuhi kebutuhan maupun dalam memanfaatkan sumber daya alam salah satunya yaitu sungai.

  1. Sungai Alalak

Pada perbatasan antara kota Banjarmasin dan kabupaten Barito Kuala atau yang lebih dikenal dengan Batola gterdapat sebuah tempat yang benama Handil Bakti. Handil bakti itu sendiri sudah termasuk wilayah dari kabupaten Batola yang tepat pada perbatasannya terdapat sebuah terminal nyang bernama terminal Handil Bakti. Di sekitar terminal Handil Bakti terdapat sungai besar yang bernama sungai Alalak yang memiliki anak sungai (handil) yaitu sungai Handil Bakti yang posisinya persis dibelakang terminal Handil Bakti.

Sungai ini memisahkan antara Kota Banjarmasin dan Kabupaten Batola. Untuk menghubungkan dua wilayah ini, tepat diatas sungai yang berdekatan dengan terminal terdapat sebuah jembatan penghubung yang diberinama jembatan Alalak II.. Namun lebih dikenal dengan jembatan Handil Bakti. Jembatan ini baru dibangun dan diresmikan pada 15 Agustus 2009 yang berfungsi sebagai penghubung antara kabupaten Barito Kuala dan Kota Banjarmasin, khususnya kecamatan Banjarmasin utara.

Masyarakat yang ada di tepi sungai Alalak memiliki aktivitas-aktivitas tersediri yang memanfaatkan adanya sungai ini. Aktivitas-aktivitas tersebut antara lain :

  1. Mencuci kendaraan bermotor

Masyarakat sekitar memanfaatkan air sungai sebagai sumber daya ekonomis untuk mencuci sepeda motor. Menurut mereka air sungai dapat dimanfaatkan untuk memudahkan aktivitas mereka sekaligus menghemat biaya. Dengan mencuci sepeda motor memanfaatkan air sungai, mereka dapat menggunakan air sungai tanpa harus mengeluarkan biaya.

  1. Transaksi jual beli pasir dan batu-batuan

Di sekitar sungai handil bhakti ditemui adanya transaksi jual beli salah satu nya penjualan pasir dan batu-batuan. Para pembeli pasir dapat melalui darat dan juga malalui sungai, yaitu dianggkut dengan menggunakan mobil kemudian di bawa kembali menggunakan kapal kecil atau tongkang sesuai dengan keinginan pembeli dan jumlah pasirnya atau batu yang dibeli. Tetapi para pengusaha yang memiliki dermaga lebih memilih untuk menggunakan kapal dan tongkang untuk mengangkut pasir karena alasan ekonomis.

  1. Pengumpulan Rotan

Di tepi sungai tepatnya di sekitar jembatan Alalak II terdapat juga kegiatan pengumpulan rotan yang sudah jadi atau setelah rotan tersebut mengalami proses penjemuran selama beberapa hari dan kemudian dilakukan penimbangan dan kemudian di oven sebelum di simpan dalam gudang. pemasarannya ke berbagai daerah di Banjarmasin seperti Banjarbaru, Pelaihari bahkan ada yang dikirim ke luar negeri. Rotan tersebut berasal dari berbagai hutan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yang diangkut menggunakan kapal.

  1. Memulung Sampah di Sungai

Kegitan lain yang sangat menarik adalah kegiatan yang dialakukan seorang kakek yang memulung sampah di sungai menggunakan jukung kecil. Hal ini merupakan salah satu kegiatan positif dimana dengan adanya kegiatan mengambil sampah seperti bekas botol minuman, palastik dan lain sebagainya, sehingga membuat sampah yang ada sungai menjadi berkurang dan pencemaran sungai juga semakin berkurang . Kegiatan yang dialakukan oleh pemulung ini selain bermanfaat bagi kebersihan sungai dari berbagai jenis sampah plastic tentunya juga untuk mencari nafkah.

 

  1. Kegiatan mandi di sungai

Keberadaan sungai dirasakan sesuatu hal yang dianggap sangat penting oleh masyarakat sebagai pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, terutama untuk kegiatan mandi. Sungai sudah menjadi urat nadi bagi masyarakat dimana mereka dapat memanfaatkan air dengan sepuas-puasnya untuk berbagai aktivitas. Walaupun kondisi sungai yang sangat tidak bersih, karena berwarna kuning ditambah lagi dengan adanya kegiatan kapal tongkang yang melakukan bongkar muat pasir dan batu-batuan serta juga banyaknya sampah sampah bekas rotan dan sampah rumah tangga lainnya.

  1. Sungai Martapura

Sungai Martapura adalah merupakan anak sungai dari sungai Barito yang muaranya terletak di kota Banjarmasin dan di hulunya terdapat kota Martapura ibukota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Sungai Martapura juga dipengaruhi oleh pasang surut air laut jawa, sehingga berpengaruh kepada drainase kota dan memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakat kota Banjarmasin khususnya yang tinggal disepanjang aliran sungai Martapura.

Bagi masyarakat Kalimantan Selatan khususnya warga kota Banjarmasin, keberadaan sungai martapura merupakan suatu sumber daya alam yang memberikan banyak manfaat yang mana sungai Martapaura sudah menjadi suatu kebutuhan masyarakat untuk menjalankan aktivitasnya. Banyak warga kota Banjarmasin yang memanfaatkan air sungai Martapura untuk kebutuhan sehari-hari seperti MCK, mencuci pakaian, mencuci piring dll. Selain untuk menunjang kebutuhan sehari-hari, sungai Martapura juga sering di gunakan warga sebagai jalur transportasi air, perdagangan, maupun pariwisata, seperti pasar terapung dan festival budaya (perahu naga dan lainnya) yang dilakukan di atas sungai Martapura.

 

  1. Sungai Martapura di Jl. Jenderal Sudirman

Sungai Martapura di depan Jl. Jenderal Sudirman merupakan sungai yang terletak di pusat kota Banjarmasin. Letaknya tepat di tengah-tengah kota Banjarmasin yang di sekitarnya adalah akses jalan utama. Seberang sungai Martapura ini terdapat bangunan-bangunan penting, seperti Mesjid Raya sabilal Muhtaddin, Kantor Gubernur Kalimantan Selatan dan Korem 101. Jika mengacu pada titik Mesjid Sabilal Muhtaddin, maka 500 meter sebelah barat sungai ini langsung berhadapan dengan Kantor Gubernur Kalimantan Selatan dan sekitar 1 km sebelah timur sungai ini langsung berada di depan Kantor Walikota Banjarmasin. Adapun bangunan yang terdapat di sekitar sungai ini adalah siring, dermaga, jembatan, dan ruko. Dahulu banyak sekali bangunan-bangunan kumuh yang terletak di pinggiran salah satu sisi sungai ini. Namun, sekarang bangunan-bangunan tersebut digusur dan sekarang dibangun siring sebagai upaya pelestarian sungai. Siring tersebut dibangun tepat di pinggir kedua sisi sungai ini sehingga juga menjadi pembatas antara jalan raya dan sungai yang juga sebagai prasarana penunjang tata indah kota. Siring juga menjadi tempat favorit berkumpulnya kelompok sosial remaja dan keluarga. Hampir tidak ada masyarakat yang mandi di sungai ini, karena jarak rumah agak jauh dari sungai dan kebanyakan masyarakat sudah memiliki kamar mandi di rumah mereka. Sungai ini biasanya digunakan oleh masyarakat untuk memancing, dan sebagai jalur transportasi air.

  1. Sungai martapura Jl. R. E. Martadinata

Sungai Martapura juga terletak di antara Jl. R.E. Martadinata dan Jl. R.K Ilir. Aliran sungai berwarna keruh kecoklatan. Di daerah pinggiran sungai terdapat banyak sampah yang mengapung dan juga tanaman eceng gondok. Sebagai sungai yang masih digunakan sebagai jalur transportasi air, klotok maupun jukung sangat ramai melewati sungai ini, baik yang berfungsi sebagai angkutan pribadi maupun sebagai angkutan umum.

Di Jl. R. E. Martadinata, tepat berseberangan dengan sungai Martapura terdapat kantor walikota Banjarmasin. Letak kantor walikota Banjarmasin di tepian sungai Martapura ini berhubungan dengan sejarah kota Banjarmasin saat masih berbentuk Kerajaan Banjar yang saat itu bangunan-bangunan penting seperti pasar dan kantor-kantor pemerintahan dibangun di dekat tepian sungai sehingga memudahkan masyarakat yang masih menggunakan alat transportasi air untuk mencapainya.

Siring yang berfungsi sebagai pencegah abrasi atau pengikisan jalan darat di sekitar sungai juga terdapat di tepian sungai Martapura di JL. R.E. Martadinata ini. Namun, siring juga mempunyai manfaat tambahan yaitu sebagai open space bagi masyarakat Banjarmasin. Pada sore hari, banyak anggota masyarakat yang datang ke siring ini untuk bersantai, bersama teman-teman, pasangan maupun keluarga. Sambil bersantai, pengunjung bisa sambil menikmati es kelapa yang banyak di jual di siring tersebut.

Menyambung dengan siring, terdapat sebuah dermaga sebagai tambatan perahu wisata air. Perahu tersebut dapat digunakan wisatawan untuk menyusuri sungai Martapura. Selain itu juga terdapat halte kapal yang diperuntukkan bagi calon penumpang kapal untuk menunggu kapal yang akan mereka tumpangi. Di halte tersebut juga terdapat warung.

Di tepian sungai Martapura di Jl. R.E. Martadinata ini jiga terdapat Pelabuhan Lama yang berfungsi sebagai tempat penyalur barang-barang perdagangan seperti buah-buahan dan sayuran yang dibawa oleh perahu-perahu barang yang berasal dari luar Kalimantan Selatan, misalnya Kalimantan Tengah dan Pulau Jawa. Setiap hari ada saja transaksi jual beli yang terjadi di pelabuhan tersebut.

Sedangkan di tepian sungai Martapura di Jl. R.K. Ilir terdapat Unit Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang fungsinya sama dengan Pelabuhan Lama, namn Unit TPI ini khusus untuk tempat pelelangan ikan sehingga aktivitas yang terjadi adalah aktivitas pelelangan ikan dan aktivitas bongkar muat ikan yang dibawa oleh perahu-perahu. Selain itu juga terdapat Tempat Pembuangan Sampah (TPA) yang terlihat sangat semrawut. Tidak terlihat petugas kebersihan khusus yang mengelola sampah di sana, juga tidak terdapat pembatas agar sampah tidak masuk ke sungai.

  1. Sungai martapura depan museum wasaka

Sungai yang terletak di dekat Pelabuhan Wasaka di Jl. Kampung Kenanga Kelurahan Sungai Jingah Banjarmasin Kalimantan Selatan ini merupakan aliran dari sungai Martapura. Di atas sungai ini ada jembatan yang melintasinya, yaitu jembatan Benua Anyar. Seperti halnya sungai lain yang terdapat di Banjarmasin, air sungai wasaka ini terlihat keruh kecoklatan. Selain itu, juga banyak sekali terdapat eceng gondok dan sampah yang terdapat di pinggiran sungai.

Oleh karena sungai wasaka masih digunakan sebagian masyarakat Banjarmasin sebagai jalur transportasi air, maka di pinggiran sungai ini terdapat pelabuhan yaitu Pelabuhan Wasaka. Pelabuhan tersebut berfungsi sebagai tempat persinggahan klotok untuk menunggu penumpang. Banyak klotok, kapal cas dan jukung yang lewat di sungai wasaka.

Selain itu, di sepanjang pinggiran sungai wasaka juga terdapat pemukiman penduduk yang letaknya sejajar dengan arah aliran air sungai. Rumah-rumah tersebut berbentuk rumah panggung dengan tiang rumah yang tinggi agar saat air pasang, tidak sampai menggenangi rumah. Rumah-rumah yang dibangun menjorok ke arah sungai mengakibatkan sungai wasaka itu sendiri mengalami penyempitan badan sungai. Pada bagian rumah yang menghadap ke sungai, dibuat jamban terapung sebagai tempat untuk buang hajat, mandi dan mencuci pakaian.

Di pinggir sungai wasaka juga terdapat museum yang bernama Museum Wasaka. Kata ‘wasaka’ berasal dari singkatan motto masyarakat banjar yaitu Waja Sampai Kaputing. Bentuk bangunan museum berbentuk rumah adat Banjar Bubungan Tinggi. Di samping museum tersebut terdapat taman yang pada sore hari biasanya digunakan sebagai tempat bersantai bagi masyarakat sekitar dan arena bermain anak-anak. Namun, seringkali juga dijadikan lokasi pemotretan oleh beberapa model dan fotografer. Di taman tersebut juga terdapat beberapa pedagang makanan kecil.

  1. Aktivitas Masyarakat di Sungai dan Tepian Sungai
  1. Sungai sebagai       jalur transportasi,

Sejak dulu sungai memegang peranan penting sebagai jalur transportasi di kota ini, hal ini di buktikan dengan adanya aktivitas hilir mudik perahu-perahu yang melintas di sungai-sungai Kota Banjarmasin. Meskipun frekuensi transportasi sungai mulai berkurang, namun masih ada sebagian warga yang menggunakan jalur sungai, seperti taksi klotok, jukung dan klotok pengangkut barang.

  1. Sumber air untuk kebutuhan MCK,

Penggunaan air sungai untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK) masih dilakukan oleh masyarakat Banjarmasin yang tinggal di pemukiman di sepanjang tepian sungai. Mereka umumnya melakukan aktivitas MCK tersebut di jamban terapung atau yang biasa disebut batang. Aktivitas ini selalu terlihat di sungai kuin dan sungai alalak setiap pagi dan sore hari.

  1. Sumber mata pencaharian,

Keberadaan siring di tepian sungai menjadi berkah tersendiri bagi para penjual makanan dan minuman. Banyaknya warga Banjarmasin yang senang menghabiskan waktu bersantai di siring Jl. R.E. Martadinata memberikan kesempatan bagi para penjual es kelapa dan jagung bakar untuk berjualan di sore hari. Serupa dengan siring di Jl. Jenderal Sudirman yang banyak terlihat para penjual es kelapa, kripik, dan pentol.

Selain itu, juga ada masyarakat yang membuka usaha di tepian sungai seperti penjualan balok kayu dan penjualan kambing. Alasannya adalah untuk memudahkan pengangkutan barang jualan melalui sungai.

  1. Memancing

Banyak masyarakat Banjarmasin yang menghabiskan waktunya untuk memancing di sungai-sungai yang ada di Banjarmasin, baik karena hobi atau sekedar menghabiskan waktu luang ataupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aktivitas memancing biasanya dilakukan di siring Jl. R.E. Martadinata dan Jl. Jenderal Sudirman serta di sungai martapura di depan Museum Wasaka. Selain itu, pada malam hari banyak juga pemancing yang memancing di Jembatan Merdeka dan Jembatan Pasar Lama, yaitu jembatan yang melintasi sungai Martapura.

  1. Sebagai sarana interaksi.

Siring yang dibangun di tepian sungai Martapura menjadikan siring sebagai open space. Pada sore hari, siring dijadikan tempat bersantai bagi sebagian masyarakat Banjarmasin. Duduk-duduk bersama keluarga atau teman-teman sambil memandang sungai Martapura serta melihat klotok dan jukung lalu lalang bisa menjadi cara tersendiri untuk bersantai. Keberadaan siring juga menjadi wadah bagi berbagai komunitas seperti komunitas breakers, skaters, geng motor dan automobile, serta bikers. Sehingga tepian sungai memberikan peran tersendiri dalam merekatkan hubungan sosial masyarakat Banjarmasin yang memiliki kesamaan hobi.

Aktivitas mandi dan mencuci di batang pun menjadi ajang untuk merekatkan silaturahmi dimana menjadi kesempatan untuk para wanita untuk saling mengobrol sambil mandi dan mencuci. Balumba adalah aktivitas yang sering dilakukan anak-anak saat mandi di sungai yaitu berlomba-lomba untuk berenang lebih cepat daripada anak lainnya.

  1. Analisis

Sejak dulu, ketika kita berbicara tentang Banjarmasin, maka salah satu keunikan geografis yang mencuat terhadap daerah ini adalah sungai-sungainya, sehingga Banjarmasin mendapat julukan kota seribu sungai. Dengan menyesuaikan pada kondisi lingkungan yang ada, maka tidaklah mengherankan jika banyak aktivitas masyarakat Banjarmasin yang berlangsung di sungai dan tepian sungai.

Bagi warga Kota Banjarmasin, khususnya yang tinggal di tepian sungai, sungai bukan hanya sekedar sumber air bagi mereka, tetapi sungai sudah menjadi orientasi hidup dan identitas diri. Dikatakan sebagai orientasi hidup karen banyak kegiatan sehari-hari masyarakat yang dilakukan disungai, mulai dari mandi, mencuci, menangkap ikan, berdagang, jalur transportasi hingga sebagai tempat bermain anak-anak. Demikian pula halnya mengenai sungai sebagai identitas diri. Sungai sebagai identitas diri direfleksikan dengan menyebut perkampungan-perkampungan dengan nama sungai yang melintas di daerahnya. Bahkan dalam masyarakat Banjar petunjuk arah diberikan sesuai dengan arah aliran sungai ataupun posisinya terhadap sungai misalnya hulu hilir.

Seiring derap modernisasi yang dijalankan di daerah ini, perubahan pun terjadi dalam tata nilai urang Banjar. Budaya sungai urang Banjar lambat laun mengalami pergeseran yang sangat signifikan. Sungai-sungai tidak lagi menjadi sesuatu yang terpenting dalam kehidupan urang Banjar. Bagaimana tidak, dulu kebudayaan Banjar berkembang dari kehidupan sungai, yang kemudian melahirkan tata nilai dan artifak-artifak budaya yang bernuasa sungai. Dari sungai, nenek moyak urang Banjar mendapatkan inspirasi untuk dapat mengembangkan pemukiman di atas rawa atau di dekat sungai dengan tetap mempertahankan kelestariannya, sehingga berdirilah bentuk-bentuk rumah panggung yang memang sangat sesuai bahasa alam yang ada di sekitarnya. Sementara di daerah pinggiran sungai, pendirian rumah-rumah panggung juga ditata apik sesuai dengan konsep dan tata nilai tradisional yang memandang sungai sebagai halaman atau teras rumah. Pandangan ini yang mengatur bahwa semua rumah yang dibangun di pinggiran sungai semuanya harus menghadap ke sungai, tidak boleh ada yang membelakanginya. Bahkan pemerintah Belanda pun pernah melarang pembangunan rumah yang membelakangi sungai di kota Banjarmasin. Sekarang, atas nama modernisasi, pola-pola pembangunan pemukiman dan usaha telah mengalami perubahan. Hampir di semua sungai kita akan mendapati deretan perumahan atau warung-warung penduduk yang membelakangi sungai. Hampir semua rumah atau bangunan lainnya saat ini dibangun oleh urang Banjar dengan cara diuruk. Perubahan pola pemukiman masyarakat yang tidak lagi memandang sungai sebagai teras atau halaman depan sebuah rumah mengakibatkan perubahan pola pemukiman di sepanjang bantaran sungai. Pola pemukiman yang baru ini banyak mengambil lahan di atas sungai sehingga rumah-rumah tersebut mengurangi lebar badan sungai. Kejadian ini tentunya akan berdampak pada semakin cepatnya pendangkalan sungai-sungai sehingga sekaligus mengurangi daya tampung sungai terhadap limpasan air pada waktu hujan datang. Berkurangnya daya tampung ini akan pada menurunya atau hilangnya fungsi sungai sebagai pembagi aliran air pada saat pasang atau banjir dating, sehingga genangan air dapat segera dialirkan ke muara atau laut.

Tidak hanya kebudayaan sungai yang mengalami pergeseran, kelestarian sungai itu sendiri pun juga seakan terabaikan. Pada masa sekarang sungai telah menjadi “tempat sampah” besar oleh masyarakat di sekitarnya. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang limbah rumah tangga ke sungai juga merupakan salah satu faktor pencemaran sungai yang didukung juga dengan kurang tegasnya penerapan peraturan dari peraturan yang dibuat pemerintah. Pencemaran tersebut mengakibatkan menurunnya kualitas air sungai, padahal air sungai masih digunakan oleh sebagian warga Banjarmasin dalam kegiatan rumah tangga, seperti mencuci peralatan masak, MCK, mencuci pakaian, dan tak jarang digunakan untuk berwudhu.

Menurut Hamdi, Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLD) kota Banjarmasin, kualitas air sungai dari tahun ke tahun terus menurun. berdasarkan hasil pengujian terakhir pada Maret 2012 di 10 titik, sembilan di antaranya menunjukkan penurunan pH hingga di bawah angka lima atau semakin asam. Kondisi yang paling parah terdapat di sungai di bawah jembatan Kayutangi dekat RS. Ansyari Shaleh, yaitu pH nya 3,6. padahal air normal yang layak untuk kehidupan pH nya 6,9. Dari analisisnya, penurunan pH kemungkinan dipicu dua faktor utama, yakni pengaruh air asam tambang yang mengalir ke sungai dan semakin banyaknya kawasan gambut yang dieksploitasi menjadi perkebunan (Radarbanjar, 28 April 2012:1).

Banyaknya bangunan-bangunan yang berdiri di atas sungai mengakibatkan hilangnya sungai-sungai kecil. Menurut Ir. Fajar Desira, Sungai di Banjarmasin tercatat 104 sungai, yang terdiri dari sungai besar, sungai kecil dan anak sungai, dan 74 di antaranya kini masih terpelihara dengan baik, selebihnya sudah mati akibat sedimentasi dan tercemar berat oleh limbah-limbah sampah akibat gulma. Bila sungai tersebut dikelola tentunya akan menguntungkan, tetapi bila tidak dikelola maka bencana pun akan menghadang (Antara, 8 Februari 2012:1).

Sumber :

http://nurindarto.blogspot.com/2012/11/budaya-sungai-suku-banjar-dan-latar.html

https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2012/11/12/orang-banjar-dan-budaya-sungai/

https://www.kompasiana.com/kaekaha.4277/560b0e302d7a61251c8ce719/membangun-ruang-publik-berbasis-budaya-sungai-ala-kota-banjarmasin?page=all

http://dianmrz.blogspot.com/2014/03/budaya-dan-adat-istiadat-suku-banjar.html

http://nayyongg.blogspot.com/2012/12/sungai-dan-kehidupan-masyarakat.html

 

Leave a comment